Abdul Karim

Tiga Periode, Konstitusional?

Sebelum diamandemen, UUD 1945 tidak membatasi masa jabatan Presiden Republik Indonesia, berapa lamapun boleh. Soeharto menjadi Presiden lebih dari satu periode, karena MPR terus menerus memilih kembali Soeharto dan itu tidak salah karena sudah sesuai dengan UUD 1945.

Ketika reformasi 1998, masa jabatan presiden RI yang periodenya tidak dibatasi itu dituding menjadi cikal bakal mengakarnya praktek KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme), sehingga MPR bersepakat untuk mengubah pasal 7 UUD 1945 menjadi sebagai berikut : “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.  Sebelum diubah Pasal 7 tertulis sebagai berikut : “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.

Dalam Sidang Istimewa MPR tanggal 10-13 Nopember 1998 MPR mengeluarkan Ketetapan Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.  Pasal 1 Tap MPR tersebut menyatakan bahwa  “Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Atas dasar Tap MPR inilah Pasal 7 UUD 1945 diamandemen. Apakah MPR bertindak inkonstitusional?, Tentu saja tidak, karena MPR mempunyai kewenangan untuk mengubah UUD 1945. Namun Tap MPR itu muncul tidak dengan tiba-tiba.

Pembatasan masa jabatan presiden RI menjadi wacana umum di masyarakat pasca mundurnya Presiden Soeharto 1998. Berbagai kalangan, para akhli politik maupun ahli hukum, bahkan para akademisi di kampus-kampus punya sound yang seirama mengenai perlunya mengubah masa jabatan presiden. MPR menangkap aspirasi masyarakat tersebut dan kemudian atas kewenangan yang dimiliki MPR menjadikan aspirasi itu sebagai Ketetapan MPR. Sah.

Seingat saya, ketika diskursus itu bergulir, tak satupun ada pihak yang menyatakan bahwa ide pembatasan masa jabatan presiden itu adalah inkonstitusional.

Belakangan ini, perubahan masa jabatan presiden RI kembali bergulir menjadi wacana. Dan wacana tersebut langsung dihajar oleh tuduhan inkonstitusional, oleh mereka yang tidak sependapat. Gagasan itu langsung mau dibunuh sebelum penggagasnya sempat “menjelentrehkan” substansi dari pemikirannya.

Padahal secara tradisi, sebuah perubahan besar selalu diawali dengan ide-ide yang melawan arus. Termasuk gagasan Tiga Periode itu, adalah sebuah pemikiran radikal yang patut diberi empati, apabila itu tidak semata ditujukan untuk presiden saat ini. Karena public mengasosiasikan prestasi pemerintahan sekarang dengan keadaan actual di masyarakat. “ngurus copid19 saja gak becus, mau 3 periode”. Kalimat ini lahir dari komen netizen. Ini refleksi dari ketidakpuasan.

Tetapi jika Tiga Periode itu digagas dengan latar belakang pemikiran substantif yang adiluhung, dikaitkan dengan strategi pencapaian tujuan-tujuan hidup berbangsa dan bernegara dalam kerangka menciptakan kemakmuran rakyat yang punya benang merah dengan periodesasi jabatan presiden, tentu public akan bisa menilai ide itu dengan hati yang dingin.

Terlepas dari itu semua, apakah gagasan Tiga Periode itu inkonstitusionil?. Tentu saja akan menjadi konstitusionil apabila dapat meyakinkan mayoritas MPR untuk mengamandeman (kembali) Pasal 7 UUD Negara Republik Indonesia 1945. Sebelum itu terjadi maka segala TINDAKAN yang bertentangan dengan konstitusi adalah inkonstitusionil. Apakah sebuah gagasan termasuk kategori TINDAKAN. Itulah problemnya, banyak orang tidak dapat membedakan mana gagasan mana tindakan dalam konteks konstitusi, sehingga dengan mudah sekali menghamburkan tuduhan inkonstitusional.

Banjarbaru 25 Juni 2021

——————————————-

Kuliah Daring, apa untungnya?

Mendadak kata-kata daring semakin sering dan nyaring terdengar, terutama di kalangan dunia pendidikan, menyusul  kebijakan pemerintah yang menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagai antisipasi atas penyebaran Covid19.

Kebijakan yang berlaku untuk semua tingkat pendidikan ini sontak membuat kaget banyak orang terutama para peserta didik atau mahasiswa yang gagap teknologi (gaptek).  Namun kekagetan itu tidak berlangsung lama, karena ketersediaan teknologi informasi yang user friendly  membuat para pemakai daring cepat memahaminya.

Sejauh mana efektivitas proses belajar melalui daring?….. Pertanyaan ini harus dijawab melalui data penelitian apabila kita ingin informasi yang ilmiah. Namun sebagai dosen saya merasakan pengalaman empiris yang luar biasa. Pertama dari sisi praktis, daring sangat unggul. Seorang dosen tidak perlu keluar rumah untuk pergi ke kampus, cukup buka laptop atau sarana device lainnya. Lalu connected ke jaringan internet melalui aplikaasi video conference. Setelah terhubung ke para mahasiswa, maka proses belajar mengajar sudah dapat dilaksanakan.

Bagi dosen yang  mampu mengedit video, materi kuliah dapat direkam terlebih dahulu, kemudian disiarkan pada saat waktu kuliah. Cara ini cukup efektif untuk kelancaran perkuliahan karena dosen dapat mengontrol waktu, narasi, dan materi kuliah dengan akurat. Dengan adanya proses editing video maka kesalahan bicara (slip of tongue) dapat dihindari.

Ada sejumlah kelemahan perkuliahan daring. Dari aspek network internet yang berpengaruh kepada kualitas suara (voice) maupun kualitas gambar. Kecepatan internet yang rendah menyebabkan gambar pecah atau suara terputus-putus sehingga mahasiswa kesulitan menangkap informasi yang disampaikan dosen. Kelemahan  yang paling menakutkan adalah kualitas jaringan yang masih megap-megap. Ada kejadian, dosen ngomong berbuih-buih hingga selesai waktu kuliah. Setelah itu senyap dan sepi,…. Ternyata jaringan sudah lama terputus….. dosen tidak tahu. Mahasiswa nya bingung bagaimana cara mengasih tahu dosen karena jaringan putus. Pas waktu itu dosen nya tidak berdekatan dengan handphone. Berjam-jam dosen ngomong ternyata hanya didengar oleh dirinya sendiri.

Kontrol dosen terhadap mahasiswa juga sedikit longgar karena dapat saja seorang mahasiswa pergi tidur setelah mengisi daftar hadir.  Beberapa dosen yang saya amati ada yang mewajibkan mahasiswa menampilkan gambar dirinya di layar (open camera) untuk memastikan mahasiswa benar-benar exist di ujung jaringan.

Jadi apakah kuliah daring cukup efektif?…..

Paparan sekilas ini mungkin sudah dapat menggiring Anda pada satu kesimpulan. Masih di aspek media network saja kita menemukan sejumlah hambatan, belum lagi bicara konten presentasi maupun materi kuliah.

Namun apa boleh buat, the show must go on. Menghindari pandemi  Covid19 adalah sebuah keniscayaan namun proses belajar juga sebuah kewajiban supaya pertumbuhan bangsa ini tidak terhenti.  Efektif tidaknya kuliah daring akan menjadi urusan waktu membuktikannya, yang penting semangat belajar harus tetap ditegakkan, meskipun besok hari akan kiamat.

Banjarbaru, 20 Februari 2021

———————————————–

Peluang Kuliah di Era Covid19 dan tantangan teknisnya

Di samping sejumlah masalah yang ditimbulkan akibat adanya pandemi Covid19, ternyata ada semacam blessing (atau peluang) yang terbuka di bidang Pendidikan terutama bagi mereka yang termotivasi untuk belajar yang selama ini terkendala orang ruang dan waktu.

Kebijakan berbagai sekolah atau perguruan tinggi untuk menyelenggarakan perkuliahan berbasis online (daring = dalam jaringan) memberi kemudahan dalam proses belajar mengajar karena para mahasiswa tidak perlu datang ke kampus untuk mengikuti perkuliahan. Cukup di rumah saja, selama ada jaringan internet maka mahasiswa sudah bisa masuk kelas (virtual room).

Tidak hanya dalam proses pertemuan yang berbasis daring, bahkan bimbingan skripsi/tesis/disertasi sampai ujian sekalipun tetap berada dalam jaringan (daring).  Demikian pula dengan proses administrasi lainnya seperti pengisian Kartu Rencana Studi, pembayaran SPP, pendaftaran mahasiswa baru, test masuk dan lain sebagainya.

Satu-satunya masalah yang muncul dari proses belajar mengajar (PBM) berbasis daring adalah masalah teknis dan aplikasi on-line. Harus diakui belum semua sekolah atau perguruan tinggi mempunyai system aplikasi atau perangkat teknologi informasi (information technology) yang memadai untuk menyelenggarakan PBM fully on line. Keterbatasan itu pun mungkin terjadi pula dari aspek human nya. Kompetensi bidang IT relative baru muncul di Indonesia.

Dari sisi teknologi informasinya ada tiga aspek penting yang harus dipenuhi. Pertama availability, yaitu ketersediaan jaringan. Untuk masalah ini sepertinya tidak terlalu problem bagi Indonesia karena cakupan layanan telekomunikasi/internet saat ini sudah merambah pelosok negeri. Aspek kedua adalah accessibility. Yaitu kemudahan akses bagi para user.  Jaringan yang sudah tersedia itu (availability) belum tentu mudah diakses karena sebaran pemukiman yang sporadic. Di samping itu kualitas jaringan yang disediakan operator telco juga relative tidak semuanya bagus. Ada yang sinyalnya lemah, atau BTS nya belum menggunakan teknologi terbaru (4G).

Aspek ketiga adalah appordability, yaitu keterjangkauan dari sudut harga/ekonomi. Walau di Indonesia tarif paket data dapat dikatakan sudah terjangkau, namun tak semua orang mampu menjangkaunya karena ada masalah ekonomi di masa covid19 ini. Namun Pemerintah tampaknya tidak tinggal diam. Pemerintah berupaya untuk meringankan beban pelajar/mahasiswa yang membutuhkan paket data.

Ketiga masalah ini akan terjadi sepanjang masa karena kebutuhan manusia semakin bertambah dan terus berkembang baik kuantitas maupun kualitasnya. Namun kita tidak mungkin menunggu ketiga tantangan itu tuntas untuk meneruskan proses Pendidikan.

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam Banjarmasin yang memiliki dua program yaitu Program Sarjana dan Program Magister tidak terkecuali, turut terlibat dan berpacu dengan keadaan. “seberapapun kemampuan kita dalam menggelar PBM daring, kita harus tetap berproses” demikian tekad para pendidik di STIHSA Banjarmasin.

“Di balik kesulitan akan terbit kemudahan”,  Allah menjanjikan itu di dalam Al-Qur’an

Banjarbaru, 5 Maret 2021

https://fpi.susu.ru/ https://fp3.unulampung.ac.id/ https://perpus.unulampung.ac.id/